dakwatuna.com - Mungkin agak ketinggalan ya, tapi saya gatal untuk menulis catatan ini karena belakangan ramai sebagian teman mengganti penulisan frasa “insya Allah” dengan “in sha Allah”. Alasannya, “insya Allah” dianggap berarti ‘menciptakan Allah’. Mereka mengganti frasa tersebut karena membaca pesan viral di sosial media, baik facebook, whatsapp, blackberry messenger, twitter, dll. Konon, pesan berantai itu berasal dari dr.Abdul Karim Naik, dai terkenal asal India yang digadang-gadang merupakan pengganti Kristolog moncer sedunia, almarhum Syaikh Ahmad Deedat.
Padahal, validitas bahwa pesan tersebut berasal dari dr.Zakir Naik pun perlu kita ragukan (sila lihat gambar). Dan perlu kita ketahui bahwa Penulisan lafadz إِنْ شَاءَ اللّهُ menjadi “in sha Allah” dalam bahasa Indonesia justru merupakan sebuah Hypercorrect / hiperkorek. Bagaimana alurnya? mari kita urun rembug bersama.
What is hypercorrect?
Hiperkorek dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai berikut: hi•per•ko•rek /hiperkorék/ a bersifat menghendaki kerapian dan kesempurnaan yang sangat berlebihan sehingga hasilnya malah menjadi sebaliknya; (hiper sendiri artinya ‘berlebihan’). Hiperkorek bisa diartikan pula sebagai kesalahan berbahasa karena “membetulkan” bentuk yang sudah benar sehingga menjadi salah.
Sederhananya, hiperkorek adalah koreksi berlebihan alias membetulkan secara lebay.
Contoh, penulisan ‘surga’ yang lazim dan sudah benar, dianggap salah, kemudian diganti menjadi ‘syurga’ karena dikira berasal dari bahasa Arab. Padahal kata ‘surga’ berasal dari bahasa Sansekerta (svarga, स्वर्ग, ‘kayangan’) yakni suatu tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai tempat berkumpulnya manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya (wikipedia).
Karena dikira berasal dari bahasa Arab, kata ‘Surga’ diganti menjadi ‘Syurga’ yang justru malah menjadi keliru. Surga dalam bahasa Arab justru disebut “jannah” (جنّة), jauh sekali dari kata ‘surga’. Demikian pula, kesalahan serupa terjadi pada penulisan frasa ‘insya Allah’ yang belakangan ramai “dibetulkan” menjadi ‘in sha Allah’.
Dalam bahasa Arab, lafadz إِنْ شَاءَ اللّهُ tersusun dari tiga kata: “in, syaa-a, Allah” terdiri dari (إِنْ) yang artinya “Jika”, ( شَاءَ ) yang artinya “Dia berkehendak”, dan Allah. Secara bebas tiga kata ini dapat kita terjemahkan menjadi “Jika Allah berkehendak”. Dimaksudkan bahwa segala rencana kita hanya akan terlaksana jika Allah menghendakinya, sebuah keyakinan totalitas bahwa Tuhan Maha Berkuasa di atas segala rencana manusia.
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ tanpa (dengan menyebut), ‘Insya Allah.’” [QS. Al-Kahfi: 23].”
Namun Jika kata tersebut disambung menjadi ( إِنْشَاءَ ) dengan nun dan syin menempel, maka insyaa-a ia akan berarti “menciptakan, membangun, menyusun, atau menumbuhkan”. Penggunaan huruf ini kemudian akan menimbulkan tone atau bunyi berbeda yaitu Insya-Ullah atau InsyaUllah, dimana kata ‘Allah’ menjadi objek (maf’ul) yang diciptakan. Tentu sebuah makna yang sangat keliru, dan kita berlindung kepada Allah atas makna demikian.
Dimana Hiperkoreknya?
Penulisan ‘insya Allah’ menjadi ‘in sha Allah’ justru menjadi keliru, karena dalam bahasa Indonesia, huruf ‘syin’ (ﺵ ) ditransliterasi menjadi ‘sy’, sedangkan ‘sh’ adalah transliterasi untuk huruf ‘shad’ (ص). Sehingga jika kita menulis “in sha Allah” maka padanannya dalam bahasa Arab adalah ( إن صاء الله ) atau ( إن ص الله ) yang justru tidak ada maknanya.
Hal ini berbeda dengan di Malaysia yang mengadopsi transliterasi dari bahasa Inggris dimana ‘syin’ (ﺵ ) di tulis dengan ‘sh’. Orang-orang di London sana, yang suka makan kentang itu, mereka mentransliterasi semua huruf ‘syin’ (ﺵ ) menjadi ‘Sh’, itu sebabnya kita akan melihat kata-kata yang tidak lazim kita baca di Indonesia seperti: Shukoor, Shuuraa, Shukran, dst., yang kita pahami dengan syukur, syura, syukran, dst. Apakah orang Indonesia yang menulis ‘in shaa Allah” akan secara konsisten menuliskan lafadz-lafadz yang tak familiar itu. Shahadat, shamil, Mashaa Allah?
Masalah Transliterasi
Yang perlu kita pahami adalah standar transliterasinya. Dalam banyak jurnal ilmiah keagamaan yang saya baca, penulisan إِنْ شَاءَ اللّهُ ke dalam bahasa Indonesia lazim ditulis dengan frasa “insya Allah” dan tidak ada masalah dengan itu hingga muncul broadcast hiperkorek yang ‘mempersoalkan’ penulisan “insya Allah”.
Sekalipun tidak ada standar baku mengenai transliterasi huruf Arab ke huruf latin berbahasa Indonesia (setidaknya sejauh ini saya belum menemukan bentuk bakunya), bisa dipastikan hampir tidak pernah ada penggunaan huruf ‘sh’ untuk mewakili ‘syin’ (ﺵ ) dari bahasa Arab.
Karena tidak ada bentuk baku inilah, dalam penulisan karya-karya ilmiah, baik skripsi, tesis, disertasi atau pun jurnal-jurnal ilmiah keislaman, mudah didapati pedoman transliterasi di halaman muka. Tapi hampir pasti tidak ada satu pun jurnal ilmiah berbahasa Indonesia yang mengalihtuliskan huruf syin (ﺵ ) menjadi ‘sh’. Kecuali Jurnal Insisit yang awalnya memang banyak diisi oleh binaan-binaan Syed Muhammad Naquib al-Attas asal Malaysia. Penulisan huruf syin (ﺵ ) menjadi ‘sh’ dalam frasa “in sha Allah” justru menimbulkan confused seolah-olah tulisan arabnya إن صاء الله yang tidak ada maknanya itu.
Penulisan ‘insya Allah’ sudah lazim di Indonesia. Tulisan ini lazim kita baca pada buku-buku terbitan Kementerian Agama, maupun buku keislaman lain, seperti Tarjamah Tafsiriyah versi Ust.Muhammad Thalib.
Demikian pula jika rekan-rekan menulis kata “insya Allah” pada situs www.kbbi.web.id, maka penjelasan yang muncul adalah “expressionn that is used to express the hope or promise that is not necessarily fulfilled (meaning ‘God willing’,) atau ungkapan yanng digunakan untuk menyatakan harapan atau janji yag belum tentu dipenuhi (maknanya “jika Allah mengizinkan”). Tapi jika kita mengetik “Insha Allah/in Shaa Allah/ atau in syaa Allah” dengan memisahkan ‘in’ dan ‘syaa’ maka tidak akan ada penjelasan yang didapatkan, alias not found.
Untuk penulisan “in syaa Allah”, Jika ingin mengoreksi agar benar-benar tepat, maka penulisan “in syaa Allah” sendiri sebetulnya masih kurang benar. Harusnya jika memang “benar-benar ingin benar” maka transliterasinya adalah “in syaa-a Allaah”, dan ketika menulis “Masya Allah” ia harus menulis “masyaa-a Allaah”, dst.
Menurut analisis saya (pake gaya Sentilun), tidak ada masalah untuk menulis ‘insya Allah’ ‘insya Allaah’ ‘in sya Allah’ maupun “in syaa Allaah” karena keduanya tetap merujuk kepada kata إِنْ شَاءَ اللّهُ dalam bahasa Arab. Ini hanya berada pada zona transliterasi saja. Akan menjadi keliru kemudian jika kita menuliskannya dalam bahasa Arab dengan merubah tulisannya, atau bicara dalam bahasa Arab dengan merubah tone-nya.
Bagi mereka yang tinggal di Indonesia, frasa “insya Allah” sudah lazim dan sama sekali tidak artikan sekaligus tidak pula dimaksudkan dengan “menciptakan Allah” karena tulisan tersebut hanya transliterasi yang memiliki keterbatasan dengan fonem dari bahasa Asal. Tidak merubah huruf asli dan tidak pula merubah bunyinya, hanya mengalihtuliskan kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dimana fonemnya tidak seluruhnya sama. Persis sebagaimana penulisan Aisyah yang tidak perlu ditulis menjadi “‘Aa-isyah”, atau “ibnu Khattab” menjadi “ibn Khaththaab”, atau Abdurrahman Wahid menjadi ‘Abd al-Raḫmȃn Wȃhid. Itu hanya pilihan transliterasi.
Transliterasi sendiri di banyak jurnal seringkali menggunakan bantuan simbol untuk membantu menjelaskan setiap hurufnya, al-ḫamd li Allȃhi Rabb al- ‘alamȋn.. Dan yang di Malaysia atau di negara-negara barat tetap bisa menuliskannya dengan “in sha Allah”.
Wa Allȃhu a’lam.
Sumber :